~ “Lihat, jantungku berdarah. Semalam telah kukerat seluruh rindu yang masih tersisa pada liangnya, untuk kujejalkan ke jantungmu! Sakit? Itulah rasanya merindumu… (Tanpa pernah kau tahu). Kini kau memiutangi aku.”
"Jikapun aku masih mencintaimu, biar kulakukan semua dalam diam. Tanpa perlu kau tahu aku kesakitan."
"Ciuman yang terburu-buru, pelukan yang tak pernah penuh. Hatiku selalu utuh, sedang kamu: separuh."
~ Barangkali hatiku hanyalah asbak. Tempatmu membuang tiap puntung amarah, ragu, dan cemburu. Kunikmati jelaga yang kau beri dengan tabah, hingga kau sadar, cintaku tak mungkin terbayar.
"Pernah kuletakkan kau sedekat jantungku. Kupikir agar degup kita seirama. Ternyata aku salah. Kau, sosok yang kupuja, yang paling mampu mengoyaknya."
Hati kita pernah sama-sama rusak. Pernah retak, bahkan pecah hingga terserak. Kau dengan gurat lukamu, aku dengan semburat perihku. Kita sepasang pelupuk penakar airmata yang sedang mencari pembebatnya.
Seharusnya, kau dan aku bisa saling menjadi obat. Kita telah sama-sama tahu bahwa menimbun sayat tak kan membuat sehat. Tapi mengapa kita justru saling menebar sengat? Tak cukupkah lebam yang masih belum hilang benar birunya? Haruskah kau tambahkan airmata agar semakin semarak warna lukanya?
Aku hanya ingin duduk berdua. Berbicara tanpa kernyit di dahi, tanpa sakit di hati, tanpa lidah yang memaki. Tak lelahkah kau akan pertengkaran yang berujung pada saling diam? Bukankah cinta itu tentang perihal saling memahami dan membuka diri? Egoku telah berlutut di hadapanmu. Maka bisakah kau sedikit meredam amarah, menghilangkan cemburu, dan mencoba menaruh percaya padaku? Lalu peluk aku sebentar saja, hingga berhenti isak tangisku, hingga aku tenggelam dalam tenang.
Mereka pikir aku baik saja. Mereka hanya tak tahu, aku pandai menyembunyikan luka. Saat riasan ini terhapus airmata, entah berapa banyak pesakitan telah tertoreh di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar