… Kamu adalah aku yang dikalahkan cinta.
Aku pernah
Merasakan ribuan tabung gas meledak didada, saat melihat bibirmu bersujud di wajahnya.
Dan aku disini, menahan tangki air mata yang segera jatuh ke permukaan dunia nyata.
Angin senja pun tau, aku hanya pura-pura turut berbahagia.
Jangan dulu kau pinta padaku sebilah doa, karena aku belum sanggup melakukannya.
Jangan pula kau minta aku sajikan senyum terindah, selama jemarimu mengikat pada telapaknya.
*
Aku pernah
Berbisik cinta, sebelum kamu bersamanya...
*******
Merasakan ribuan tabung gas meledak didada, saat melihat bibirmu bersujud di wajahnya.
Dan aku disini, menahan tangki air mata yang segera jatuh ke permukaan dunia nyata.
Angin senja pun tau, aku hanya pura-pura turut berbahagia.
Jangan dulu kau pinta padaku sebilah doa, karena aku belum sanggup melakukannya.
Jangan pula kau minta aku sajikan senyum terindah, selama jemarimu mengikat pada telapaknya.
*
Aku pernah
Berbisik cinta, sebelum kamu bersamanya...
*******
Aku punya cerita.
Kali ini tentang : Menunggu...
Kalian pernah tau rasanya terjaga hingga menjadi saksi, dari lahirnya matahari?
Bermata terbuka ditemani keringat yang tidak menetes itu cukup mengganggu, setidaknya hari ini.
Aku merasakan sunyi paling bising dengan pipi yang basah.
Menatap kotak berisi gambar bergerak, tidak dengan maksud atau seperti kehilangan alasan untuk tidak beranjak.
Tapi tidak satupun dari apa yang mereka bicarakan atau lakukan didalam televisi itu aku pahami, aku hanya ingin
memastikan, aku punya kegiatan.
Bermata kosong dengan harapan tidak kesepian.
Ternyata sepi itu terlalu gaduh, aku menunggu sesuatu yang belum juga tiba. Menjaga tempat yang dia tinggalkan, dengan harapan dia cepat pulang.
Ada suara detik, yang tidak pernah berhenti.
Aku telah mengumpulkankannya menjadi musim hujan yang belum juga datang.
Aku percaya, Tuhan telah mengutus salah satu utusan yang tidak pernah mampu manusia lawan, waktu.
Dan aku telah menjadi pecundang-NYA yang paling konyol, saat memposisikan diri sebagai penantang.
Inilah hasil dari kekalahan tertotol, emosi yang tidak lagi mampu aku kontrol.
Sekarang aku menunggu diam dibalik pintu.
Ramai belum juga mau datang, televisi ini juga masih menyala, suaranya numpang lewat diterima.
Tapi samar-samar aku mendengar kayu terketuk.
"Siapa?" tanyaku tanpa menoleh pada pintu dibelakang kepala.
"Aku mengantarkan surat" sahut suara didepan.
Aku buka pintu dan menabuhkan tanda tangan pada secarik kertas sebelum surat beramplop putih sampai pada ke-lima jemari. Pria bertopi dengan jaket biru tua itu sempat bilang "Maklum birokrasi. Bisa minta lagi parafnya disini? Hanya untuk tanda bukti suratnya sudah sampai". Aku tidak membalasnya dengan kata, hanya melakukan apa yang dia perintahkan.
Sekarang aku kembali duduk diposisi semula, dengan amplop yang aku buka dengan hati-hati.
Secarik kertas tanpa garis dihiasi beberapa kata.
Aku meraba lubang dibalik dadaku, kosong...
********
Kali ini tentang : Menunggu...
Kalian pernah tau rasanya terjaga hingga menjadi saksi, dari lahirnya matahari?
Bermata terbuka ditemani keringat yang tidak menetes itu cukup mengganggu, setidaknya hari ini.
Aku merasakan sunyi paling bising dengan pipi yang basah.
Menatap kotak berisi gambar bergerak, tidak dengan maksud atau seperti kehilangan alasan untuk tidak beranjak.
Tapi tidak satupun dari apa yang mereka bicarakan atau lakukan didalam televisi itu aku pahami, aku hanya ingin
memastikan, aku punya kegiatan.
Bermata kosong dengan harapan tidak kesepian.
Ternyata sepi itu terlalu gaduh, aku menunggu sesuatu yang belum juga tiba. Menjaga tempat yang dia tinggalkan, dengan harapan dia cepat pulang.
Ada suara detik, yang tidak pernah berhenti.
Aku telah mengumpulkankannya menjadi musim hujan yang belum juga datang.
Aku percaya, Tuhan telah mengutus salah satu utusan yang tidak pernah mampu manusia lawan, waktu.
Dan aku telah menjadi pecundang-NYA yang paling konyol, saat memposisikan diri sebagai penantang.
Inilah hasil dari kekalahan tertotol, emosi yang tidak lagi mampu aku kontrol.
Sekarang aku menunggu diam dibalik pintu.
Ramai belum juga mau datang, televisi ini juga masih menyala, suaranya numpang lewat diterima.
Tapi samar-samar aku mendengar kayu terketuk.
"Siapa?" tanyaku tanpa menoleh pada pintu dibelakang kepala.
"Aku mengantarkan surat" sahut suara didepan.
Aku buka pintu dan menabuhkan tanda tangan pada secarik kertas sebelum surat beramplop putih sampai pada ke-lima jemari. Pria bertopi dengan jaket biru tua itu sempat bilang "Maklum birokrasi. Bisa minta lagi parafnya disini? Hanya untuk tanda bukti suratnya sudah sampai". Aku tidak membalasnya dengan kata, hanya melakukan apa yang dia perintahkan.
Sekarang aku kembali duduk diposisi semula, dengan amplop yang aku buka dengan hati-hati.
Secarik kertas tanpa garis dihiasi beberapa kata.
"Jika aku belum juga pulang, mungkin waktunya kamu untuk berdiri, keluar dan mencari aku, atau mungkin kita tidak akan pernah lagi bertemu. Tertanda, Hati-mu"
Aku meraba lubang dibalik dadaku, kosong...
********